Gunung berapi menjadi
menjadi momok yang menakutkan khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah
pegunungan. Bencana yang datang tiba tiba, sering kali banyak merenggut korban
jiwa dan kerugian yang tidak sedikit.
Seiring berkembangnya zaman, banyak manusia yang memikirkan bagaimana cara untuk memilimalisir kerugian bencana alam yang di sebabkan gunung berapi dengan cara memprediksinya. Salah satunya yaitu ilmuan asal jepang bernama Daigo Shoji.
Seiring berkembangnya zaman, banyak manusia yang memikirkan bagaimana cara untuk memilimalisir kerugian bencana alam yang di sebabkan gunung berapi dengan cara memprediksinya. Salah satunya yaitu ilmuan asal jepang bernama Daigo Shoji.
Daigo Shoji menggunakan tipe kecerdasan
buatan yang bernama Convolutional Neural Network untuk
mengkategorikan bentuk partikel debu yang merujuk pada tipe letusan sehingga
dapat digunakan sebagai informasi dalam mitigasi bencana gunungapi.
Ide terkait kecerdasan buatan yang diaplikasikan dalam
pemantauan kegempaan gunungapi ini cukup sederhana; Ketika terdapat gempa
vulkanik yang terekam pada sejumlah seismometer yang dipasang di sekeliling
gunungapi, data tersebut akan dikirimkan lewat gelombang radio ke server yang
ada di pos pengamatan.
Algoritma yang telah dikembangkan akan secara langsung
menghitung parameter-parameter gempa termasuk lokasi sumber, kemudian secara
otomatis menentukan tipe gempa vulkanik yang terekam.
Hasil berupa lokasi sumber dan tipe gempa ini ditampilkan di layar monitor dalam bentuk animasi bergerak yang memperlihatkan model struktur bawah permukaan gunungapi dan perkiraan dimana lokasi magma kini berada.
Dengan mengetahui tipe gempa yang terekam, jumlah
kejadiannya, serta lokasi kedalamannya, sistem ini dapat melihat apakah
aktivitas gunungapi sedang dalam status level normal, waspada, siaga, atau
awas.
Ketika mulai terdeteksi kenaikan level,
sistem akan secara otomatis memberikan early warning, dan pengamat
yang berada di pos pemantauan bisa segera menginformasikan soal kemungkinan
gunung akan meletus ke pusat vulkanologi.
Dari data yang dikirimkan oleh pengamat, pusat
vulkanologi yang berwenang dapat segera memberikan mandat ke badan
penanggulangan bencana untuk melakukan persiapan, dan memberitahu LSM untuk
memberitahu masyarakat agar segera mengevakuasikan diri dan keluarga mereka.
Namun sistem ini masih memiliki kekurangan.
Karena kondisi lapisan batuan di bawah permukaan dan kejadian gempa vulkanik di
tiap gunungapi memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda, otomatis algoritma
yang digunakan untuk men’training’ sistem juga akan berbeda.
Kecuali untuk kasus gunungapi yang memiliki tipe kejadian
gempa vulkanik yang mirip seperti gunung Semeru dan gunung Sakurajima, Jepang.
Dalam hal ini, kemungkinan bisa menggunakan sebuah sistem kecerdasan buatan
dengan algoritma yang hampir sama.
Selain itu, secanggih-canggihnya teknologi yang
digunakan, tetap belum bisa memprediksi secara tepat 100% kejadian bencana yang
disebabkan oleh alam. Bukankah manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang
menentukan semuanya?
Meski suatu hari nanti kecerdasan buatan ini bisa
diterapkan, kemungkinan tetap tidak bisa lepas dari kehadiran pengamat yang
terus memonitoring minimal untuk memantau gunungapi secara visual.
Harapannya, dengan adanya sistem kecerdasan buatan yang
diimplementasikan di gunungapi, peringatan akan terjadinya letusan dapat lebih
cepat diinformasikan dan resiko letusannya dapat diminimalisir secara lebih
maksimal.
sumber: